Kompetensi dan Popularitas, Pilihan Kaum Muda di Pilpres 2024

Relawan Muda Airlangga ( RMA ) Gelar Konsolidasi Nasional dan Diskusi Publik di Fairway Cafe pada Rabu (24/8/22).

BOGOR (Literasi.co.id) – Bertajuk ‘Kompetensi dan Popularitas’ Relawan Muda Airlangga Hartarto (RMA) menggelar diskusi publik dengan menghadirkan Ketua Umum JMSI, Dr. Anto Sudarto sebagai Pengamat Komunikasi Politik, Dosen Univ. Pancasila, Andi Hakim selaku Pemerhati sosial dan politik serta dimoderatori Alga Indria yang merupakan pendiri The Alga Institute, Fairway Café Jalan Pandu Raya, Kota Bogor, Rabu (24/8).

Koordinator Nasional RMA, Firman Mulyadi menuturkan, acara diskusi publik yang digelar oleh RMA ini, tokoh di era kini terkadang yang mempunyai kompetensi tidak berbanding lurus dengan popularitas.

“Segmentasi kita adalah anak muda tentu kompetensi ini yang kita kedepankan ketimbang popularitas, misalnya ada beberapa anak muda yang viral tapi melakukan kesalahan kemudian dijadikan duta yang sangat bersebrangan. Misalnya waktu itu pernah ada yang mempermainkan pancasila, tiba-tiba dia jadi duta Pancasila,” tutur Firman.

Lebih lanjut dirinya menjelaskan, yang pertama saatnya dari RMA ingin memberikan edukasi kepada rekan-rekan muda bahwa kompetensi ini lebih penting dari pada popularitas. Dan kedua pihaknya juga ingin melakukan konsolidasi nasional, setelah diskusi ini RMA akan berembuk serta diskusi secara internal untuk pengurus relawan muda Airlangga yang ada di berbagai propinsi.

“Kami akan mencari pasangan terbaik, ada beberapa masukan kurang lebih 10 nama itu disampaikan oleh koordinator RMA dan kami diskusikan lagi. Nah dari 10 nama inilah apakah akan menjadi 5 atau 7 nama, nanti siapa yang akan kita usulkan kepada Airlangga untuk mendampingi nya di 2024 sebagai calon wakil presiden,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa menilai, faktor kompetensi dan popularitas di Pemilu 2024 akan mempengaruhi pemilih, khususnya pemilih muda atau pemula, karena akan menentukan arah Indonesia kedepan. Karena kompetensi calon pasti berhubungan dengan konteks kepentingan ekonomi.

“Ekonomi di Indonesia nanti dihadapkan dengan situasi global di masa depan. Maka dari itu, sebagai anak muda kita mempertanyakan kompetensi pemimpin seperti apa nantinya di bidang ini,” ujarnya.

Teguh juga menyebut bahwa di dua edisi Pilpres sebelumnya, dominasi aktor politik menguasai berbagai informasi yang ada di internet.

“Karena informasi ini didominasi, akhirnya ruang gerak anak muda jadi terbatas. Untuk itu saya mengapresiasi perandan gerak RMA untuk memutus dominasi. Karena anak muda perlu ruang baru dalam dan mengambil bagian di Pilpres 2024,” tuturnya.

Di sisi lain, Anto Sudarto selaku pengamat politik Univ Pancasila mengatakan, ada juga polarisasi politik dibalik setiap Pilpres. 


Ia mencontohkan kasus di Amerika Serikat yang memunculkan berbagai aliran politik pada awalnya saat Pilpres.Namun, Amerika Serikat saat ini polarisasi politik terbatas hanya pada dua Partai Politik yaitu Republik dan Demokrat. 
Polarisasi politik menurutnya di Indonesia lebih parah. Ada kubu pro-Presiden dan anti-Presiden.

Bagi Anto, polarisasi seperti ini tidak sehat dalam ruang demokrasi di negeri ini. 
Peran media sosial begitu kuat dalam memunculkan polarisasi politik. Anto menambahkan bahwa ide-ide yang tercipta di masyarakat jadi terkekang. 

“Karena figur politik di Indonesia sangat penting, makanya ada pencitraan sana-sini. Diskusi masyarakat tidak bisa tercipta di media sosial. Akhirnya cuman ada pujian atau makian ke Presiden,” ucap seorang Dosen Komunikasi Politik Universitas Pancasila ini. 

Fenomena ini menyebabkan kesadaran masyarakat menjadi sempit tentang politik. Peran lembaga survei menurut Anto mendukung hal tersebut. 
Baginya, lembaga survei selalu menciptakan angka-angka yang mengarahkan masyarakat tidak bisa menciptakan idenya sendiri dalam berpolitik.