Aliansi BEM se-Bogor Gerudug Istana Bogor, Minta Presiden Selesaikan Masalah Agraria dan Konflik Rempang

Masa dari Aliansi BEM se-Bogor saat melakukan aksi unjuk rasa menyuarakan permasalahan pertanian hingga kasus Rempang di Jalan Jend Sudirman, Kota Bogor pada Senin, 25 September 2023.

KOTABOGOR(Literasi.co.id) – Peringati Hari Tani ke 63 tahun yang jatuh pada Hari Minggu (24/9/23) dan peduli nasib masyarakat Rempang Batam, puluhan Aliansi BEM se-Bogor menggelar aksi unjuk rasa Didepan Istana Bogor tepatnya di Jalan Sudirman Kota Bogor pada Senin, 25 September 2023. Massa aksi mengkritik masalah konflik agraria di Negara Indonesia.

Seperti diketahui, Hari Tani Nasional merupakan sejarah perjuangan golongan petani hingga pembebasan mereka dari kesengsaraan. Berdasarkan sejarah tersebut, ditetapkanlah Hari Tani pada tanggal 24 September dalam UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960.

“Selama 74 tahun terakhir, sektor pertanian masih menjadi penggerak roda ekonomi Indonesia dan masih berada di posisi teratas bersama sektor perdagangan dan sektor industri. Meski dijuluki negeri agraris yang identik dengan pertanian, Indonesia bukan termasuk negara dengan ketahanan pangan nasional yang cukup independen,” ungkap Koordinator Aksi dari Aliansi BEM se-Bogor, Ahmad Sobari pada Senin (25/9/23).

Secara umum menurutnya, ketahanan pangan dapat dikatakan independen jika negara mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya secara mandiri tanpa tergantung pada impor pangan dari negara lain. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan produksi pangan dalam negeri yang pasti nya juga perlu untuk memerhatikan kesejahteraan para petani, mengoptimalkan penggunaan lahan pertanian yang ada, dan pemerintah juga perlu memperhatikan faktor-faktor lain seperti ketersediaan air, teknologi pertanian yang modern, dan dukungan kebijakan yang memadai untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. 

“Bila merefleksi lebih jauh permasalahan kesejahteraan petani, ada beberapa faktor yang bisa menjadi jawaban mengapa petani di Indonesia belum bisa dikatakan sejahtera. Pertama, instabilitas cuaca tentu sangat mempengaruhi produktivitas hasil panen. Petani bisa saja rugi akibat cuaca ekstrem, harga pasar turun drastis, bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim bukan mustahil petani gagal panen pada satu musim. Permasalahannya adalah petani Indonesia sangat minim memiliki teknologi yang mampu menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan dalam kasus cuaca ekstrem,” paparnya.

Dan yang kedua, masih berhubungan dengan minimnya teknologi pada sektor pertanian, seringkali para petani kolot atau para petani berusia lanjut tidak bisa mengikuti transisi teknologi pertanian yang sebetulnya memudahkan pekerjaan mereka. Ketiga, transisi nilai terjadi pada para petani yang tercipta karena dampak dari kebijakan, contohnya saja revolusi hijau besar-besaran yang terjadi pada era Soeharto.

“Revolusi hijau memang membawa kemajuan khususnya dalam bidang pertanian, sayangnya hanya bersifat parsial bahkan dalam jangka panjang akhirnya meninggalkan nilai kultur pada petani. Nilai kultur yang ditinggalkan yakni penggunaan pupuk kimia atau non organik yang digunakan pada revolusi hijau era Soeharto,” tandas Ahmad.

Ia menambahan, permasalahannya adalah dalam penggunaan pupuk non organik, petani merasa jauh lebih mudah karena hanya membutuhkan tenaga dan energi yang jauh lebih sedikit dibanding jika memupuk sendiri dengan mengolah kompos sendiri. Sebuah rancangan proyek besar terkait pembentukan Perusahaan kaca terbesar di asia menghadirkan huru hara yang menghoyak-hoyak perasaan Masyarakat sekitar, dapat dilihat di berbagai media yang ada bagaimana pemerintah seakan memaksakan kehadiran perusahaan yang bermodalkan dari investor asing ini, tanpa memandang adat-istiadat yang lebih dahulu mendiami daerah tersebut.

“Diantara kekacauan yang terjadi banyak nya masayarakat yang terdampak bahkan dari segi pendidikan dimana anak-anak yang sedang menjalankan proses Pendidikan harus terkena dampak buruk Kesehatan dari lemparan gas air mata yang disebut tembakan nyasar ke sekolah nya, orang tua yang bahkan tidak seharus nya mendapatkan hantaman keras di wajah nya dari para aparat kepolisian pada saat kejadian sengketa,” katanya.

Hal- hal seperti ini yang secepatnya harus diselesaikan agar masyarakat mampu kembali percaya dengan pemerintah dan para kaki tangan nya. Kegagalan pemerintah dalam membangun sebuah alternatif solusi menganulir permasalahan negara ini ber-hulu pada kegagalan penimbangan dampak resiko yang harus ditanggung oleh para rakyat nya.

“Asas kemanusiaan yang di cetus kan pada sila ke-2 pancasila seakan-akan guyonan belaka bila hasil maksimal dari analisis masalah nya hanya sebatas memperluas dan mempermudah investor asing sebagai solusi dan fokus utama,” ujarnya.

Aksi unjuk rasa yang sempat diwarnai dengan menerobos barikade kawat berduri hingga bakar ban oleh puluhan mahasiswa dari Aliansi BEM se-Bogor ini terus mendapatkan pengawalan dengan humanis dari pihak Polresta Bogor Kota dan TNI.

Hingga akhirnya, perwakilan Istana Bogor melalui Komandan Komplek (Danplek) menemui masa aksi untuk mendengarkan tuntutan yang minta di sampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

Inilah tuntutan masa aksi dari Aliansi BEM se-Bogor :

1. Lestarikan sistem pertanian subsisten.

2. Tinjau kembali sistem korporasi petani secara menyeluruh.

3. Berhentikan titik perluasan program Food Estate.  

4. Batasi keran impor, atasi masalah rantai pasok segera. 

5. Wujudkan Land Reform sejati, serta hentikan perampasan lahan segera.

5. Selesaikan sengketa Rempang segera.

6. Hentikan kegagalan system yang dibangun dalam Proyek Strategis Nasional.