Pasien Diagnosa Kekerasan Tidak Dijamin BPJS, Pakai Jamkesda Harus Ada LP

KOTABOGOR (Literasi.co.id) – BPJS Kesehatan sebagai program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN_KIS) menjadi asuransi kesehatan wajib bagi warga Indonesia.

Fasilitas kesehatan bisa digunakan seumur hidup bagi peserta yang terdaftar sebagai aggota BPJS Kesehatan.Namun tidak semua layanan dan penyakit bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Sedikitnya ada 21 penyakit yang tidak ditanggung BPJS. Salah satunya, pasien dengan diagnosa kekerasan.

Kepala Urusan Customer Servis RSUD Kota Bogor, Rusli Setiadi mengungkapkan bila pada Sabtu (1/4/2023), tempatnya bekerja kedatangan pasien dengan diagnosa kekerasan.

Pasien atas nama Agung Firdaus (28) datang ke UGD RSUD Kota Bogor pada pukul 23.55 WIB, dengan kondisi terluka. Menurut keterangan keluarga, luka tersebut didapati dari perkelahian.

“Kami tidak tahu pasti dimana terjadi perkelahiannya. Pasien merupakan warga Kamoung Cilangkap RT 8/8, Kelurahan Babakan, Kecamatan Ciseeng,” sebut pria yang akrab disapa Uci ini.

Karena kondisi pasien cukup darurat, perawat pun langsung melakukan tindakan medis untuk menghentikan pendarahannya dan ditindaklanjuti untuk dilakukan rawat inap di ruangan Lawang Gintung.

Keluarga pun menyetujui hal itu. Selanjutnya, pihak RSUD pun menginformasikan kepada keluarga, jika pasien dengan diagnosa kekerasan tidak bisa dicover BPJS, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Kondisi tersebut membuat keluarga merasa keberatan, dan meminta solusi pada pihak Rumah Sakit (RS) agar anggota keluarganya tidak masuk sebagai pasien umum.Kemudian, lanjut Uci, RSUD Kota Bogor berupaya menempuh jalur lain, dengan mengupayakan agar pasien atas nama Agung bisa dicover melalui Jamkesda Kabupaten Bogor.

Namun ada syarat yang harus dipenuhi agar dicover Jamkesdakab, yakni adanya Laporan Polisi (LP). Pihak keluarga pun diminta untuk membuatnya.Sayangnya, hingga Rabu (5/4/2023), keluarga pasien tidak kunjung membuat LP. Sehingga pihak RS memutuskan pasien dimasukan ke jalur umum.

“Kami masih mengupayakan dengan mengupload ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor meski tanpa LP agar bisa dicover Jamkesdakab. Namun ditolak karena tidak memenuhi syarat. Dan akhirnya, pasien atas nama Agung itu harus masuk lewat jalur umum,” terangnya.

Lebih lanjut, Uci pun mengatakan, kondisi tersebut pun menjadi polemik antara RSUD Kota Bogor dan keluarga pasien. Karena keluarga pasien ingin dibebas biayakan selama dirawat di RSUD. “Sementara keputusan manajemen tidak menginginkan hal itu,” sebutnya.

Karena pasien masuk lewat jalur umum, sebut Uci, tentu harus ada biaya yang dikeluarkan. Jumlahnya mencapai Rp. 5 juta. Namun karena pasien meminta keringan, pihak RS pun memberikan keringan berupa penjaminan BPKB dan pembayaran pengobatan bisa dilunasi dengan dicicil.

“Kami pun memberikan keringan berupa penjaminan BPKB. Dan biaya tersebut bisa dicicil Rp.500 ribu per bulannya sampai lunas tanpa ada bunga atau biaya tambahan,” sebutnya.

Uci pun menegaskan bila RSUD Kota Bogor telah bertindak sesuai dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Dalam UU itu disebutkan dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Polemik yang dialami RSUD Kota Bogor rupanya sampai ke telinga Ketua Umum Gerakan Masyarakat Kota Bogor, R. Ridho. Menurutnya, RSUD sebagai penyedia fasilitas layanan kesehatan telah bertindak sesuai dengan prosedur.

“Pasien datang, lalu ditangani dan dirawat hingga sembuh. Apa salahnya?. Yang salah itu, kalau pasien datang dalam keadaan gawat dan tidak ditangani,” tegasnya.

Perkara beban biaya yang harus dibayarkan oleh pasien, lanjut Ridho, itu merupakan kewajiban pasien yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan. “Pasien seharusnya paham akan hak dan kewajibannya,” sebutnya.

Ridho juga melanjutkan, terkait jaminan BPKB yang diminta RS kepada pasien hanya sebagai jaminan bahwa pasien akan bertanggung jawab. Mengingat RSUD Kota Bogor sebagai RS pemerintah, memiliki kewajiban untuk melaporkan pengeluaran, pendapatan dan piutangnya kepada BPK dan Inspektorat.

Tentu, jika kedua lembaga itu menanyakan, RSUD melampirkan bukti-bukti piutang tersebut, seperti BPKB yang dijaminkan.Piutang tersebut, nantinya masuk dalam kategori piutang negara/daerah. Yang dalam masa tertentu akan menjadi tanggung jawab dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

“Jika RSUD tidak memiliki bukti piutang tersebut justru ini akan menjadi masalah bagi RS. Sudah sering RSUD Kota Bogor menggratiskan pasien dhuafa. Pasien yang digratiskan tentu ada persyaratannya. Kalau sebentar-sebentar pasien minta digratiskan bisa bangkrut,” sebutnya.

Ridho juga mengajak kepada BPJS dan stakeholders terkait untuk turut serta mensosialisasikan mengenai ragam penyakit yang tidak ditanggung BPJS. Mengingat, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi.

“Sosialisasi bisa dilakukan dengan mendatangi masyarakat secara langsung atau branding di lift yang ada di RS,” pungkasnya. (*)