Pengalihan Aset Negera Diduga Melibatkan Mafia Tanah, Ini Penjelasan BPN Kota Bogor

KOTABOGOR(Literasi.co.id) – Puluhan mahasiswa dan pemuda yang mengatasnamakan Presidium Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Peduli Aset Negara (GEMPPAR) menggelar aksi di Kantor ATR/BPN Kota Bogor, Senin (13/3).

Para mahasiswa menuntut kejelasan proses pengalihan aset negara yang berada di jalan dr. Semeru, Kelurahan Menteng, Bogor Barat, Kota Bogor.

Koordinator aksi, M. Fachri mengatakan, bahwa yang berada di jalan dr. Semeru merupakan aset negara milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang di HPL kan ke Pemerintah Kota Bogor yang kemudian di HPL kan kepada pihak ketiga yaitu PT. Triyosa.

“Beberapa pekan yang lalu kami sudah lakukan audiensi dengan pihak BPN Kota Bogor, dan kami mempertanyakan terkait HPL ini menjadi HGB dan diperjualbelikan,” kata Fachri.

Berdasarkan data yang ia dapat, di tahun 2020, di HGB kan ke nama pihak lain. Sedangkan, menurutnya, sudah jelas, di HGB 734 itu tidak ada perluasan atau pengembalian, karena alasan dipindah alihkan perorangan.

“Sebenarnya sudah jelas, dari Brajamusti ini tidak ada itikad. Bahwasanya BPN Kota Bogor, Sekda, BPKAD mengatakan bahwa itu adalah HPL Pemkot Bogor,” jelasnya.

Menurutnya, pihak Brajamusti yang menempati lahan tersebut tidak serius untuk menyelesaikan perkara hari ini. Dan jika pihak Brajamusti mengklaim mempunyai hak. namun menurutnya masih kepemilikan Pemkot Bogor.

“Jika dia (Brajamusti) beralasan punya hak, namun di lapangan itu hak Pemkot Bogor. Jadi hari ini sudah jelas, bahwasanya dari 1991 tanah yang sekarang dipakai Brajamusti adalah HPL Pemkot Bogor dan datanya ada di BPKAD,”.tuturnya.

Menanggapi aksi para mahasiswa yang menuntut untuk tidak memperpanjang HGB, Kepala Kantor ATR/BPN Kota Bogor, Rahmat menuturkan, untuk tidak memperpanjang HGB bukanlah kewenangannya, pasalnya semua sudah ada standar operasional (SOP).

“Tentunya ada SOP nya. Kalau ada perpanjangan itu ada prosedur nya dan mempunyai hak atas tanah itu. Karena masih melekat HGB nya. Namanya negara hukum tentu ada caranya, bisa dilaporkan kalau itu aset ke negara. Tentu badan hukum sebelum nya mendapatkan hak itu berdasarkan SK menteri dulu tahun 90an sudah ada,” jelasnya.

Jadi, menurut Rahmat, jika hari ini pihak yang memperoleh dan memegang HGB pasti telah menempuh prosedur untuk mendapatkannya.

“Mereka tidak serta merta dapat HGB. Nah ini yang menjadi permasalahan. Mereka (peserta aksi-red) menuntut supaya tidak di perpanjang,” ucapnya.

“Saya akan melihat kebelakang, dulu mendapatkan HGB dari HPL itu apa, di atas HPL itu apa. Ada HPL yang bisa di miliki dan ada juga masih melekat. karena jaman dulu itu gak mungkin terbit jika kalau ada dasarnya. Itu SK menteri pusat, karena kewenangan Jakarta,” tandasnya.