Literasi.co.id, Jakarta, [17/3/25] – Fenomena maraknya permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) terhadap pemilik usaha, perusahaan swasta, hingga instansi pemerintah menjadi sorotan publik. Aksi ini bahkan terekam dalam berbagai unggahan di media sosial, menunjukkan bagaimana kelompok tertentu mendatangi pelaku usaha di pasar tradisional hingga kantor-kantor perusahaan dengan dalih meminta THR.
Di tengah kontroversi ini, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Muhammad Syafi’i justru menyebut praktik tersebut sebagai bagian dari “budaya lebaran” di Indonesia. Ia menilai bahwa permintaan THR oleh ormas adalah tradisi yang sudah lama berlangsung dan tidak perlu dipermasalahkan. Syafi’i menganggapnya sebagai bentuk budaya berbagi yang menjadi bagian dari perayaan Idul Fitri.
Namun, pernyataan Wamenag itu justru menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai bahwa memaksa atau menekan orang lain untuk memberi THR bukanlah bagian dari budaya yang baik, melainkan berpotensi menjadi pemerasan dan pelanggaran hukum. Sejumlah pengamat sosial menekankan bahwa gotong royong dan berbagi haruslah dilakukan secara sukarela, bukan dengan paksaan atau tekanan.
Kritik juga datang dari tokoh akademisi yang menilai Wamenag gagal memahami makna budaya secara mendalam. Mereka menegaskan bahwa tidak semua kebiasaan yang berlangsung lama bisa disebut sebagai budaya yang baik. Pernyataan tersebut dinilai sebagai distorsi sejarah dan cerminan ketidakmampuan membedakan antara kebiasaan yang luhur dengan tindakan yang melanggar norma hukum.
Respons negatif dari masyarakat terus berdatangan, terutama di media sosial, di mana banyak warganet menyayangkan sikap Wamenag yang seolah membenarkan praktik yang meresahkan dunia usaha. Mereka mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap aksi-aksi permintaan THR yang berujung pada intimidasi atau pemerasan, agar tidak semakin mencoreng citra budaya berbagi yang sebenarnya luhur dalam tradisi Lebaran.
[ NIKO ]