literasi.co.id, CIREBON, 13 Mei 2025 — Provinsi Jawa Barat tengah menghadapi dilema pelik antara kemiskinan yang membelenggu dan meningkatnya angka kriminalitas. Ketimpangan ekonomi yang semakin mencolok telah mendorong banyak warga masuk dalam jerat utang, pengangguran, hingga praktik-praktik ilegal demi mempertahankan hidup.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat kebangkrutan sejumlah perusahaan dan pabrik menimbulkan dampak domino yang luas. Minimnya lapangan pekerjaan serta lemahnya pemberdayaan masyarakat dalam hal inovasi dan kewirausahaan membuat sebagian warga memilih jalan pintas. Tidak sedikit yang kemudian terjerumus dalam tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, hingga praktik ilegal lainnya.
Kondisi ini diperparah dengan tingginya penetrasi layanan pinjaman online (pinjol) di Jawa Barat. Provinsi ini tercatat sebagai salah satu wilayah dengan pengguna pinjol terbanyak secara nasional. Ancaman dari debt collector, penyebaran data pribadi, hingga intimidasi psikis telah menimbulkan tekanan berat bagi para peminjam. Beberapa kasus bahkan berujung pada tragedi bunuh diri akibat stres berkepanjangan.
Praktik “gali lubang tutup lubang” menjadi cerminan nyata kehidupan masyarakat yang terhimpit. Ironisnya, di tengah kondisi sulit tersebut, muncul praktik rentenir berkedok koperasi, yang dikenal sebagai “bank emok” atau “bank kelik”, yang menyasar masyarakat akar rumput dengan iming-iming pinjaman tanpa agunan. Padahal, di balik tawaran tersebut tersembunyi bunga tinggi dan sistem penagihan yang menekan.
Mayoritas koperasi tersebut tidak memiliki legalitas resmi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkoperasian. Status “koperasi” hanya dijadikan kedok untuk menjalankan praktik rentenir terselubung, yang secara nyata melanggar hukum dan merusak stabilitas sosial ekonomi masyarakat.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melalui berbagai unggahan di kanal YouTube pribadinya, kerap menyoroti langsung fenomena ini saat turun ke lapangan. Dalam beberapa kunjungannya, ia menemui warga yang terjebak utang “bank emok”, dan menekankan perlunya langkah tegas untuk menertibkan koperasi ilegal serta memperkuat ekonomi kerakyatan agar masyarakat tidak bergantung pada utang berbunga tinggi.
Desakan publik terhadap pemerintah daerah pun menguat. Selain penguatan Satgas Anti Premanisme berkedok ormas, masyarakat menuntut pembentukan Satgas Pemberantasan Rentenir Berkedok Koperasi Bodong. Satgas ini diharapkan mampu menyisir hingga ke pelosok dan menindak tegas para pelaku yang selama ini bebas beroperasi di balik celah hukum.
“Jika keberadaan bank emok tidak segera ditangani secara sistematis, praktik ini akan terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat kecil,” tegas salah satu tokoh masyarakat di Kota Cirebon.
Sebagai solusi jangka panjang, pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan keterampilan, akses pembiayaan usaha yang legal, serta peningkatan literasi keuangan menjadi agenda mendesak yang tak boleh diabaikan. Pemerintah juga dituntut mengembangkan ekosistem ekonomi lokal yang mampu menyerap tenaga kerja, membangun daya saing, dan memberi harapan baru bagi mereka yang terpinggirkan. [NIKO]