Opini  

Maafkan Kami, Tembang Melayu Tempo Doeloe

Maafkan Kami, Tembang Melayu, Tempo Doeloe, Apendi Arsyad

Oleh: Apendi Arsyad

Terima kasih abangku Aznan bin Jaharan dari Pku City telah momposting video lagu Melayu, terkaan berjudul “Maafkan Kami” di WAG Sompec ini. Judul pastinya lagu ini, maaf saya tak tahu persis apa?. Yang jelas dari lirik lagu dan syairnya yg terakhir berkata “maafkan kami”.

Saya menyimak betul kata demi kata syair lagu pop Melayu ini, yang didendangkan dan dilakoni oleh 3 orang perjaka, bujangan “lapok” etnis Melayu yg “lucu” agak kocak gayanya. Mereka ketiga orang ini melantunkan syair lagi secara bersama -sama dengan jenakanya, sambil mereka memainkan alat musiknya yang dipegang masing-masing.

Alat musik yang dipegang itu seperti seruling (vokais utama, ndak tahu namanya siapa?), diikuti gitar okulele dengan ritem yang sedap dan enak didengar, dan kemudian ada alat musik gendang (ketipung) yang ditepuk bertalu-talu yang mengiringi sahutan nada demi nada nyanyian syair Melayu, yang didengar cukup merdu dan gaya kocak, lucu.

Ketiga bujang lapok (“lapok” kiasan dari bahasa Melayu, artinya anak muda yang tidak laku-2, belum berjodoh, sehingga menjadi bujangan yang sudah berumur kategori tua) bernyanyi di sudut rumah si gadis di kampung itu, kemungkinan di suatu lokasi gang sempit di kawasan perkampungan orang Melayu, mereka bernyanyi disitu.

Di daerah itu terdapat sebuah rumah yang ada seorang gadis Melayu yang cantik jelita berbusana etnis Melayu memakai baju kurung yang bermotif batik Melayu. Ketika ketiga anak muda bujang la Melayu tadi menyanyikan lagi “Maafkan Kami” ternyata si Gadis mendengar dan menikmati lagunya mereka dengan hatinya yang “berbunga-bunga”.

Si gadis Melayu itu akhirnya bersolek di kaca hias yang ada di dalam tidurnya, yang menandakan ada rasa senang dan berbahagia mendengar syair-syair ketiga bujang lapok yang jenaka tersebut. Lantas dia menulis sepucuk surat, entah apa isinya, lalu menyelipkan selembar kertas dibawa pintu jendela di samping rumahnya, di dekat tempat ketiga pemain musik sedang berdendang.

Si Gadis Melayu melangkah pelan-pelan ke arah pojok pintu di dalam rumahnya dan kembali ke kamarnya. Di akhir episode video yang diposting abang Aznan, selembar kertas yang terselip dibawa pintu rumah si gadis, diambil seorang perjaka pemusik itu, sambil menggenggam erat kertas itu dengan ekspresi yang “menyenangkan”.

Isi dari secarik kertas yang ditulis si gadis itu, saya/ kita pun tak tahu. Apakah dia senang atau sebaliknya.? Tapi jika melihat adegan cerita syair lagu Melayu kemungkinan bisa senang jika si Gadis Melayu itu sedang dalam masa puber dan jatuh hati dengan salah seorang perjaka, bujang lapok tersebut, dan atau sebaliknya si Gadis agak “marah” karena merasa bising dan menganggu waktu istirahatnya/ tidurnya.

Tebaklah sendiri, saya rasa si Gadis etnis Melayu itu kemungkinan besar senang mendengar lagu yg didendangkan ketiga bujang lapok tersebut, yang bermaksud tengah menggoda si Gadis yang mukim di perkampungan Melayu itu.

Begitulah ringkasan rekaan cerita dalam vidio postingan bang Aznan, yang diperankan ketiga bujang lapok dengan lagu Melayunya “Maafkan Kami”, yang bisa saya narasikan dengan cara menerka-nerka, yang saya tuturkan dalam tulisan saya ini.

Terus terang dengan mendengar syair lagu Melayu tersebut, saya merasa terhibur dan juga teringat sewaktu masa2 remaja, hidup di kampung tempo doeloe (tahun 1970an), tepatnya di daerah Bukit Gudang Desa Kampung Baru Kec. Cerenti Kabupaten Indragiri Hulu (sekarang dengan pemekaran sudah berganti menjadi Kabupaten Kuantan Singingi, sejak thn1999).

Waktu itu, saya sambil menunggu atau menjaga toko (warung kelontong) milik kakakku (onga) H. Baidar Arsyad/saudagar gotah (karet alam), yang letaknya di pinggir jalan raya Pku-Rgt, tepatnya daerah Bukit Gudang Cerenti, agar saya tak jemu dan mengurangi kebosanan menunggu para pembeli atau pelanggan barang-barang datang ke toko, saya biasanya menghidupkan (menstel) radio transistor merek Philip yang ada di almari toko miliki ongaku, mencari siaran hiburan nyanyian musik Melayu guna memecah kesunyian karena sendirian menjaga toko di kampung.

Kebetulan stasion radio yang bisa ditangkap di waktu itu, hanyalah siaran-siaran radio Malaysia dan Singapura dengan lagu-2 pop Melayunya, sedangkan siaran RRI dari Jakarta agak sukar dan bahkan tidak bisa ditangkap siarannya dengan baik karena kendala gelombang suara di udara/ sinyalnya frekwensi AM yang terputus-putus akibat cuaca dan jarak yg sangat jauh.

Harap maklum andalan sarana hiburan generasi kami di masa itu, terutama di kawasan pedesaan Riau, termasuk Cerenti hanya radio transistor, yang berantena tinggi. Akibat dari keterbatasan ini, saya lebih sering dan lebih akrab mendengarkan musik-musik pop Melayu dengan yang didendangkan penyanyi Malaysia seperti alm P Ramli dan lain-lain.

Sebagai seorang keturunan etnis Melayu, nyanyian dan irama Melayu sesuai selera, yang kebetulan daerah tempat tinggalnya (kampung) berdekatan dengan negara Malaysia dan Singapura.

Ya konsekwensinya kami remaja etnis Melayu Cerenti lebih mengenal budaya Melayu di kedua negara tetangga itu, ketimbang atau dibandingkan dengan budaya Indonesia yang sentrumnya Jakarta. Dengan kata lain, kiblat pola budaya hiburan orang Melayu Riau ke negara-2 jiran Malaysia dan Singapura.

Demikianlah ceritanya kondisi tempo doeloe, sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (itc era) yang canggih sudah berubah jauh, dan barangtentu tidak seperti itu lagi. Siaran RRI, TVRI dan stasion TV swasta nasional lainnya sudah bisa ditangkap siaran-siarannya begitu mudah didapat dan jelas, disertai beragam macam tayangan hiburan seni-budaya dan suguhan berita-informasi, dengan kiblat bergeser ke Jakarta.

Dengan kata lain, generasi muda millenial Riau sudah menikmati seni budaya Indonesia yang sebenarnya saat ini, ketimbang generasi saya di masa remaja hidup di kampung tempo doeloe, tahun 1970an masih bercampur-campur dengan kiblat musiknya dengan negara jiran Malaysia dimasa itu.

Dalam konteks narasi inilah, saya mendengarkan lagu “Maafkan Kami” tadi, yang didendangkan ketiga orang muda, yang mereka sebut bujang “lapok” itu, membuat ingatan saya hanyut dengan suasana hiburan lagu lagu Melayu yang merdu merdu tempo doeloe.

Di masa remaja hidupku di kampung (semasa duduk di bangku SD dan SMP doeloe), saya lebih sering mendengar lagu-lagu Melayu populer yang syair lagunya mendayu-dayu dan penuh romantika.

Pada saat menonton video postingan abang Aznan di WAG Sosmec (grup WA para perantau orang Cerenti, etnis Melayu) membuat kalbu saya dan atau kita yg ada di WAG ini menjadi ingat akan kebesaran, kesucian dan keluhuran budaya Melayu, dengan syair lagu yang sarat dengan ungkapan kata dan bahasa yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya yang tinggi (budi luhur). Dan kita tahu dan mengenal bahwa bahasa dan budaya Melayu berakar pada ajaran agama Islam yang berlandaskan kitab suci Al Quran dan Al Hadist.

Di lain sisi, kita menyaksikan pula dalam video klip ada seorang gadis Melayu yang sedang mendengar dendangan lagu “Maafkan Kami” itu, si gadis sedang memakai busana baju kurung berukuran panjang hingga tumit (longdress), yang begitu tampak anggun, dimana aurat dan tubuhnya si gadis jelita yang molek itu, kelihatan tampak tertutup secara rapat (apik) sesuai prinsip-prinsip akidah ajaran agama Islam (Dinnulislam) yang dia anut dengan taat oleh orang etnis Melayu.

Saya pikir adanya postingan hiburan musik dan lagu rakyat (folksong) Melayu “Maafkan Kami” tersebut sangat menarik, kita sebagai generasi keturunan orang-orang Melayu Riau, yang berbudaya dengan akar ajaran Islam, akan tetap membanggakan, mempromosikan dan melestarikannya demi menjaga harkat dan martabat (marwah) negeri yang berbudaya dan berperadaban unggul yang diridhoi Allah SWT, Amiin, bukan budaya barat yang sekular dan liberal, bahkan anti agama yang mengumbar napsu- syahwat (sexual), yang akhirnya merusak tatanan peradaban yang humanis.

Demikian narasi singkat untuk mengingatkan kita akan seni budaya luhur yang berakar Melayu, selain kita bernostalgia tentang kehidupan tempo doeloe, juga ada pelajaran (iktibar) sebenarnya, yang perlu kita pahami dan terus kita pertahankan serta lestarikan. Dengan demikian “Seni budaya Melayu tak akan lekang oleh panas dan tak kan habis ditelan bumi”, dan Melayu (Nusantara) tidak hilang di bumi.

Begitulah bunyi penggalan salah satu syair lagu Melayu Pop yang sering didendangkan oleh penyanyi Iyeth Bustami, yang terkenal itu.

Penulis adalah etnis Melayu mukim di Ciawi Bogor; Pendiri-Dosen/Assosiate Professor pada Universitas Djuanda Bogor, Konsultan K/L negara, dan Aktivis Ormas di Bogor dan nasional, serta pemerhati sosial