Surat keputusan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat pada 23 Januari 2025, yang melarang penahanan ijazah siswa dengan alasan apapun, seharusnya menjadi angin segar bagi para lulusan SMA/SMK/SLB di Jawa Barat. Namun, kebijakan ini juga membuka luka lama dunia pendidikan, siswa dari keluarga ekonomi rendah terpaksa menghadapi utang hanya untuk mendapatkan ijazah mereka atau dokumen vital yang seharusnya menjadi tiket untuk mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan.
Praktik ini telah menjadi rahasia umum yang berlangsung bertahun-tahun. Tidak sedikit siswa harus menjaminkan ijazah mereka karena tidak mampu melunasi berbagai biaya yang dikenakan sekolah, seperti “uang gedung” atau “sumbangan sukarela” yang sebenarnya dipaksakan dan ditetapkan hingga jutaan rupiah. Situasi ini jelas bertentangan dengan semangat pendidikan sebagai hak dasar. Ironisnya, pemerintah provinsi baru sekarang secara tegas melarang praktik ini, setelah generasi demi generasi siswa terjebak dalam lingkaran utang yang semestinya tidak mereka tanggung.
Pertanyaannya, mengapa kebijakan ini tidak diterapkan sejak dulu? Dinas Pendidikan, yang seharusnya menjadi garda terdepan memastikan hak siswa, tampak abai selama bertahun-tahun. Regulasi yang melarang penahanan ijazah sebenarnya telah diatur oleh Kemendikbud, tetapi implementasinya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sering kali lemah. Haruskah tekanan publik atau hadirnya figur seperti Kang Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan pendekatan pro-rakyat, menjadi katalis perubahan ini? Apakah selama ini kepala sekolah lebih sibuk mengelola pungutan daripada mengurus pendidikan?
Kebijakan baru ini, yang memberikan tenggat waktu hingga 1 Februari 2025 untuk menyerahkan ijazah yang tertahan, adalah langkah maju. Namun, keputusan ini juga berpotensi membongkar berbagai praktik pungutan liar yang selama ini dilegitimasi oleh sekolah dengan dalih kebutuhan operasional. Dari penjualan buku LKS hingga acara-acara seperti study tour dan pensi sekolah, praktik-praktik ini telah menjadi ladang “bisnis” yang memberatkan siswa dan orang tua. Kepala sekolah dan komite sekolah sering kali dijadikan tameng untuk melegitimasi pungutan yang sebenarnya melanggar aturan.
Jika pemerintah provinsi ingin memastikan kebijakan ini berjalan efektif, maka solusi jangka panjang harus segera disiapkan. Dana BOS dan alokasi APBD harus mencukupi kebutuhan operasional sekolah, sehingga tidak ada lagi alasan untuk membebani siswa dengan biaya tambahan yang tidak wajar. Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki kehidupan, bukan jerat yang memerangkap siswa dalam utang.
Dengan kebijakan ini, semoga pendidikan di Jawa Barat menjadi lebih adil dan inklusif, tanpa meninggalkan trauma bagi siswa yang baru saja menamatkan pendidikan mereka. Jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi aturan di atas kertas yang diabaikan tanpa pengawasan dan implementasi yang jelas. Sudah saatnya kepala sekolah benar-benar menjadi pemimpin pendidikan, bukan pelaku bisnis. [ Niko ]