Polemik Donasi Berbasis Keagamaan di Medsos, Transparansi Dipertanyakan, Regulasi Pemerintah Diperlukan

Literasi.co.id – Maraknya penggalangan dana berbasis keagamaan di media sosial yang dilakukan oleh individu atau organisasi keagamaan kini menjadi perhatian penting bagi masyarakat. Terutama, ketika tokoh keagamaan atau pendakwah terkenal yang mengajak masyarakat untuk berdonasi demi tujuan mulia, seperti membangun pondok pesantren, wakaf Al-Qur’an, menyumbangkan Al-Qur’an untuk santri penghafal Qur’an. Namun, dengan iming-iming doa dan pahala jariyah, ajakan ini menimbulkan kontroversi di kalangan netizen, yang mempertanyakan transparansi pengelolaan dana yang terkumpul.

Seiring dengan maraknya kampanye penggalangan dana ini, masyarakat diminta untuk lebih berhati-hati dan tidak mudah percaya. Banyak iklan yang muncul di media sosial mengatasnamakan agama dan tujuan mulia. Namun, keraguan muncul mengenai apakah dana yang terkumpul benar-benar digunakan untuk tujuan yang telah diumumkan atau malah disalahgunakan oleh oknum yang mengatasnamakan yayasan atau organisasi keagamaan.

Polemik ini semakin menambah kekhawatiran masyarakat terkait penggunaan dana yang tidak transparan. Apakah sumbangan dari donatur tersebut benar-benar digunakan untuk mendirikan pondok pesantren yang akan di alokasikan memberikan pendidikan gratis, atau justru akan ada biaya persyaratan masuk yang mahal bagi para calon santri? Jika sumbangan benar-benar digunakan untuk pendidikan, maka akan menjadi solusi baik bagi anak-anak dari golongan masyarakat miskin anaknya bisa peroleh pendidikan yang baik serta ijazah setelah lulus tanpa diberatkan dengan biaya mahal, serta bisa menjadi kontribusi positif bagi program pemerintah dalam menyediakan akses pendidikan yang lebih baik, karena setiap anak generasi bangsa memiliki hak untuk peroleh pendidikan yang layak, apalagi disaat ini dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja di tengah maraknya kasus pungutan liar (pungli) yang terjadi di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga menengah.

Namun, yang lebih penting adalah perlunya pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah terkait praktik penggalangan dana online ini. Hingga saat ini, belum ada regulasi yang mengatur transparansi dan akuntabilitas dana yang dikumpulkan melalui platform digital, baik oleh individu maupun organisasi non-pemerintah. Oleh karena itu, pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat diperlukan agar masyarakat tetap dapat mempercayai ajakan donasi berbasis keagamaan tanpa khawatir akan penyalahgunaan dana.

Penting untuk diingat, masyarakat harus belajar dari pengalaman masa lalu bahwa tidak semua tokoh keagamaan dapat diandalkan amanah dalam pengelolaan dana. Sebagai contoh, pada 22 Mei 2014, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi anggaran biaya haji tahun 2010-2013. Hal ini menjadi pelajaran penting untuk pemerintah agar segera membuat regulasi khusus untuk pihak manapun yang lakukan open donasi secara online di medsos, harus sudah memiliki ijin resmi yang terverifiksi dan selalu terkontrol tim audit dari pemerintah, berhubung anggaran donasi yang masuk berasal dari masyarakat.

 

[ NIKO ]